Menghadapi perlakuan tidak adil atau penindasan dari orang yang dzolim bisa menjadi ujian terberat dalam hidup. Perasaan sakit hati, amarah, dan ketidakberdayaan seringkali melanda. Namun, dalam menghadapi mereka yang berbuat dzalim, ada beberapa respons yang tidak hanya menjaga martabat diri, tetapi juga membawa ketenangan dan keadilan sejati.
Respons pertama dan terpenting adalah tetap berpegang teguh pada prinsip keadilan. Meskipun orang yang dzolim mungkin bertindak sewenang-wenang, bukan berarti kita harus meniru perilakunya. Keadilan yang sejati tidak bersifat balas dendam, melainkan mengedepankan kebenaran dan hak. Dalam banyak ajaran moral dan spiritual, ada penekanan kuat untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan yang sama. Sebaliknya, kita dituntut untuk bersikap bijak, mencari solusi yang konstruktif, dan tidak terjerumus dalam lingkaran permusuhan yang tiada akhir.
Ini berarti, ketika dihadapkan pada tindakan dzalim, penting untuk tetap tenang dan berpikir jernih. Analisis situasi dengan objektif, kumpulkan bukti jika perlu, dan cari jalan keluar yang sesuai dengan hukum atau norma yang berlaku. Terkadang, keadilan bisa ditegakkan melalui jalur hukum, mediasi, atau dengan mencari perlindungan dari pihak yang berwenang. Sikap tenang dan terukur dalam mencari keadilan justru akan menunjukkan kekuatan karakter dan menghindari kita dari tindakan gegabah yang justru bisa merugikan diri sendiri.
Sabar adalah kunci kedua dalam menghadapi orang yang dzolim. Kesabaran bukan berarti pasrah tanpa melakukan apa-apa, melainkan kemampuan untuk menahan diri dari reaksi emosional yang berlebihan dan tetap teguh pada pendirian yang benar. Orang yang dzolim seringkali berharap mendapatkan reaksi negatif, kemarahan, atau kepanikan dari korbannya. Dengan bersabar, kita merampas "kekuatan" dari tindakan dzalim tersebut.
"Dan sesungguhnya, barangsiapa bersabar dan memaafkan, maka sesungguhnya hal itu termasuk perkara yang patut diutamakan." (QS. Asy-Syura: 43)
Kesabaran memungkinkan kita untuk melihat potensi solusi yang mungkin terlewatkan saat sedang emosi. Ia memberikan waktu untuk berpikir strategis, untuk mengumpulkan kekuatan, dan untuk menjalani proses penyelesaian masalah tanpa terburu-buru. Dalam pandangan banyak kepercayaan, kesabaran adalah bentuk kekuatan spiritual yang luar biasa, yang pada akhirnya akan membuahkan hasil yang lebih baik dan lebih mulia.
Senjata pamungkas yang seringkali dilupakan adalah kekuatan doa. Bagi mereka yang beriman, doa adalah sarana untuk memohon pertolongan, perlindungan, dan keadilan dari Sang Pencipta. Doa orang yang terzalimi memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan diyakini akan dikabulkan. Ini bukan berarti kita pasif, tetapi kita menyerahkan sebagian urusan kita kepada Tuhan, sambil tetap berusaha semampu kita.
Menggunakan kekuatan doa tidak hanya sekadar meminta, tetapi juga refleksi dari keyakinan bahwa ada kekuatan yang lebih besar yang mengawasi dan mengatur segalanya. Ini memberikan ketenangan batin, harapan, dan kekuatan untuk terus melangkah maju, meskipun dalam situasi yang sulit. Sikap ini menunjukkan bahwa kita tidak sendirian dalam menghadapi cobaan.
Menghadapi orang yang dzolim adalah sebuah seni dalam menjalani kehidupan. Dengan berpegang pada keadilan, mempraktikkan kesabaran, dan memperkuat diri dengan doa, kita tidak hanya melindungi diri dari kehancuran emosional dan spiritual, tetapi juga membangun karakter yang kuat dan tangguh. Ingatlah bahwa setiap tindakan pasti ada pertanggungjawabannya, dan keadilan, pada akhirnya, akan selalu menemukan jalannya.